KEPUASAN
KERJA, STRES DAN KONFLIK KARYAWAN
A. Konflik
1. pengertian
konflik
Konflik
mengacu pada satu proses dimana satu pihak (orang atau kelompok) merasakan
tujuannya sedang ditentang atau secara negatif dipengaruhi oleh pihak lain).
Konflik
adalah perbedaan pandangan tentang suatu peristiwa / masalah yang terjadi pada
kehidupan sehari – hari baik itu konflik pribadi, politik, sosial, budaya yang
dapat menimbulkan pemikiran yang positif atau negatif dalam penyelesaian
masalahnya .
2. Penyebab
konflik
a. Komunikasi :
Salah
pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau
informasi yang mendua dan tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak
konsisten.
b. Struktur :
Pertarungan
kekuasaaan antar departemen dengan kepentingan–kepentingan atau sistem
penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber daya–sumber
daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok–
kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka.
c. Pribadi :
Ketidaksesuaian
tujuan atau nilai–nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan
pada jabatan mereka, dan perbedaan dalam nilai – nilai persepsi.
3. Bentuk –Bentuk
Konflik Struktural
Dalam organisasi klasik ada empat daerah struktural dimana konflik
sering timbul :
a. Konflik Hierarki, yaitu konflik amtara berbagai tingkatan organisasi.
Contohnya, konflik antara komisaris dengan direktur utama, pemimpin dengan
karyawan, pengurus dengan anggota koperasi, pengurus dengan manajemen, dan
pengurus dengan karyawan.
b. Konflik Fungsional, yaitu konflik antar berbagai departemen fungsional
organisasi. Contohnya, konflik yang terjadi antara bagian produksi dengan
bagian pemasaran, bagian administrasi umum dengan bagian personalia.
c. Konflik Lini Staf yaitu konflik yang terjadi antara pimpinan unit
dengan stafnya terutama staf yang berhubungan dengan wewenang/otoritas kerja.
Contoh : karyawan staf secara tidak fornal mengambil wewenang berlebihan.
d. Konflik Formal
Informal yaitu konflik antara organisasi formal dan informal. Contoh : Pemimpin
yang menempatkan norma yang salah pada organisasi
4. Jenis – Jenis
Konflik
Ada
lima jenis konflik dalam kehidupan organisasi :
a. Konflik dalam diri individu, yang terjadi bila seorang individu
menghadapi ketidak pastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk
melaksanakannya. Bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau
bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya.
b. Konflik antar individu dalam organisasi yang sama, dimana hal ini
sering diakibatkan oleh perbedaan–perbedaan kepribadian. Konflik ini berasal
dari adanya konflik antar peranan ( seperti antara manajer dan bawahan )
c. Konflik antar
individu dan kelompok, yang berhubungan dengan cara individu menanggapi tekanan
untuk keseragaman yang dipaksakan oleh kelompok kerja mereka. Sebagai contoh,
seorang individu mungkin dihukum atau diasingkan oleh kelompok kerjanya karena
melanggar norma – norma kelompok.
d. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama, karena terjadi
pertentangan kepentingan antar kelompok.
e. Konflik antar
organisasi, yang timbul sebagai akibat bentuk persaingan ekonomi dalam sistem
perekonomian suatu negara. Konflik ini telah mengarahkan timbulnya pengembangan
produk baru, teknologi, dan jasa, harga–harga lebih rendah, dan penggunaan
sumber daya lebih efisien.
5. Penyebab
Terjadinya Konflik Kerja
Penyebab terjadinya konflik dalam organisasi, antara
lain :
a.
Koordinasi kerja yang tidak dilakukan.
b.
Ketergantungan dalam pelaksanaan tugas.
c.
Tugas yang tidak jelas ( tidak ada deskripsi
jabatan )
d.
Perbedaan dalam otorisasi pekerjaan.
e.
Perbedaan dalam memahami tujuan organisasi.
f.
Perbedaan persepsi.
g.
Sistem kompetensi insentif ( reward )
h. Strategi
pemotivasian tidak tepat.
B. Stres
Aktivitas
di setiap kelompok organisasi dimana manusia dapat mengalami stres. Stres akan
selalu mengikuti seseorang dalam menjalani aktivitas sehari-sehari. Dari
prespektif orang biasa, stres merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan atau
dapat mengganggunya. Respon seorang individu terhadap stresor tergantung pada
kepribadian, sumber-sumber daya yang ada untuk membantu mereka mengatasi, dan
konteks dimana stres terjadi (Daft, 2006:290).
Sementara itu,
dikemukakan oleh Ivancevich et al (2007:295) bahwa dari perspektif orang biasa,
stres dapat digambarkan sebagai perasaan tegang, gelisah atau khawatir, semua
perasaan merupakan manifestasi dari pengalaman stres, suatu terprogram yang
kompleks untuk mempersepsikan ancaman yang dapat menimbulkan hasil yang postif
maupun negatif. Hal tersebut berarti bahwa stres dapat berdampak negatif atau
positif terhadap psikologis dan fisiologis (Robbins. 2008:209).
Setiap
orang pasti mengalami stres, baik di luar organisasi maupun di dalam organisasi
apapun. Dengan kata lain, setiap orang tidak dapat menghindari stres, untuk itu
karyawan maupun pimpinan berkewajiban mengelolanya dengan baik. Ketika seorang
karyawan maupun manajer mampu mengelola stresnya dengan baik, maka
konsekuensinya adalah fungsional (positif), sebaliknya jika mengabaikan stres
yang muncul, konsekuensinya adalah negatif terhadap individu maupun organisasi.
Jadi, stres tidak hanya berdampak negatif, tetapi juga berdampak positif pada
seseorang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hans Selye
(Luthan, 2008:247) mengemukakan bahwa stres bukanlan sekedar ketegangan syaraf,
stres dapat memiliki konsekuensi yang positif, stres bukanlah sesuatu yang
harus dihindari, dan tidak adanya stres sama sekali adalah kematian. Ada
beberapa teknik pengukuran stres, salah satunya adalah dengan menggunakan PSQ
(Perceived Stress Questionnaire) yang dikembangkan oleh Herbert And Carsten,.
(2005:80) yang dimensi pengukurannya meliputi:
1. Stress reaction
adalah mengukur tingkat stres seorang individu di tempat kerja berkiatan dengan
kekhawatiran, ketegangan, dan kegembiraan yang dirasakan seseorang ditempat
kerja pada saat melaksanakan tugas-tugas kantor.
2. Perceived
environmental stressor atau demands adalah tuntutan lingkungan. Seorang
karyawan akan merasakan kelelahan emosional dan hasil kerja yang tidak maksimal
akibat dari tuntutan organisasi yang berlebihan (organizational stressor).
Stres kerja adalah
suatu reaksi seseorang sebagai respon penyesuaian terhadap berbagai tuntutan
baik yang bersumber dari dalam ataupun dari luar organisasi yang dirasakannya
sebagai peluang dan ancaman yang dapat diukur melalui (1) stress reaction dan
(2) demands.
C. Kepuasan kerja
Kepuasan
Kerja mengacu pada sikap umum karyawan terhadap pekerjaannya (Robbins,
2008:37). Pandangan atau persepsi individu-individu yang bervariasi dalam
lingkungan organisasi membuat mereka merasakan kepuasan atau ketidakpuasan
terhadap pekerjaannya. Hal itu, dapat mempengaruhi sikap dan perilaku individu
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Sikap seorang
individu berhubungan dengan pernyataan evaluatif baik menyenangkan maupun tidak
menyenangkan. Sejalan dengan hal tersebut, dikemukakan oleh Wexley and Gary
(2005:129) bahwa kepuasan kerja merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap
pekerjaannya yang didasarkan atas aspek-aspek pekerjaannya bermacam-macam.
Jones (Akehurst et al., 2009:5) bahwa seseorang dengan kepuasan kerja tinggi
akan menyukai (satisfaction) pekerjaannya secara umum, dimana seseorang
merasakan diperlakukan selayaknya dan percaya bahwa pekerjaan mempunyai banyak
segi yang diinginkan.
Hal
tersebut menunjukan bahwa pekerjaan merupakan faktor yang sangat penting dalam
menentukan kepuasan kerja seseorang. Sejalan dengan hal tersebut George dan
Jones (2008:82) menyatakan bahwa : the collection of feelings and beliefs that
people have about their current jobs. (Kepuasan kerja adalah kumpulan perasaan
dan kepercayaan (anggapan) yang dimiliki setiap individu tentang pekerjaannya
saat ini). Dengan demikian, kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih
antara harapan, kebutuhan atau nilai dengan apa yang menurut pandangan atau
persepsinya yang telah dicapai melalui pekerjaannya. Jadi, seorang akan merasakan
kepuasan (satisfaction) jika tidak ada perbedaan antara apa yang diinginkan
dengan apa yang sesungguhnya terjadi, sebaliknya, apabila terdapat perbedaan
antara apa yang diinginkan dengan kenyataan, maka seseorang akan merasakan
ketidakpuasan (dissatisfaction).
Disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan kepuasan kerja adalah kumpulan perasaan dan kepercayaan
yang dimiliki oleh seorang karyawan, baik yang menyenangkan (emosi positif) dan
tidak menyenangkan (emosi negatif) tentang pekerjaannya.
Dimensi
Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan sikap seseorang dalam organisasi apapun
terhadap pekerjaannya. Dengan kata lain, bagaimana perasaan seseorang,
berpikir, dan bertindak dalam hidup adalah faktor penentu pertama dan bagaimana
seseorang akan berpikir serta merasakan tentang satu pekerjaan (Ghazawi,
2008:3). Luthans (2008:142) bahwa terdapat lima dimensi kepuasan kerja, yaitu
pekerjaan itu sendiri (the work itself), gaji (pay), promosi (promotions),
pengawasan (supervision), kelompok kerja (work group), kondisi kerja (working
conditions).
Robbins (2008:110)
bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor: pekerjaan itu sendiri,
gaji, kenaikan jabatan, pengawasan, dan rekan kerja. Wexley and Gary (2005:129)
bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor: gaji atau upah, kondisi
kerja, pengawasan, rekan kerja, isi pekerjaan, jaminan kerja, serta kesempatan
promosi. George dan Jones (2008:82) memperkuat pendapat Wexley and Gary (2005 :
67) yang mengemukakan bahwa kepuasan kerja karyawan meliputi: personaliti
(personality), nilai (value), situasi pekerjaan (work situation), dan
lingkungan sosial (social influence). Penjelasannya sebagai berikut:
1. Personality:
merupakan cara pandang seseorang yang terbentuk karena perasaan, pikiran, dan
keyakinan, meliputi: pemanfaatan kemampuan, prestasi kerja, kemajuan,
kreativitas kerja, dan kemandirian dalam melaksanakan tugas.
2. Values:
merupakan nilai-nilai kerja seseorang yang bersifat intrinsik maupun
ekstrinsik, terdiri dari: imbalan, pengakuan, tanggungjawab, jaminan kerja, dan
layanan sosial.
3. Value (nilai)
adalah keyakinan tentang pekerjaan yang dihasilkan ketika menjalani pekerjaan
dan bagaimana seharusnya bertindak di tempat kerja (George dan Jones, 2008:83).
Temuan riset menunjukkan bahwa nilai adalah secara positif
dihubungkan dengan kepuasan pekerjaan (Ghazzawi, 2008:3). Seorang
karyawan, nilai-nilai intrinsiknya kuat (tinggi) lebih merasakan kepuasan
kerja, tanpa memperhatikan tingkat penggajian, walaupun gaji merupakan alat
untuk memberikan kebutuhan kepuasan pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan
seseorang dengan nilai intrinsiknya lemah George dan Jones (2005:83). Ini
berarti, walaupun gaji merupakan alasan yang nyata seorang individu bekerja
tetapi tidak berakibat negatif terhadap emosionalnya apabila seseorang memiliki
nilai intrinsik yang kuat.
4. Work
Conditions: merupakan situasi kerja yang terbentuk karena pekerjaan itu
sendiri, rekan kerja, supervisor, bawahan dan kondisi fisik, terdiri dari:
wewenang, hubungan dengan atasan, pengawasan teknis, keberagaman tugas, dan
kondisi kerja.
5.
Social Influence: merupakan pengaruh yang terbentuk karena rekan kerja,
kelompok dan budaya organisasi, meliputi: aktivitas atau kegiatan, kebijakan
perusahaan, rekan kerja, nilai moral dan status.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar